Belum sepekan disahkan, UU Pemilu digugat ke Mahkamah Konstitusi
- Abraham Utama
- BBC Indonesia

Sumber gambar, AFP/Getty Images
Seorang warga Banda Aceh menentukan pilihannya pada Pilkada, Februari 2017. Pemilihan umum mendatang akan berlangsung serentak di seluruh Indonesia.
Ketentuan mengajukan calon presiden dan calon wakil presiden pada Undang-Undang Pemilu digugat ke Mahkamah Konstitusi, Senin (24/07), beberapa hari setelah disahkan DPR pada rapat paripurna.
Permohonan uji undang-undang itu diajukan Habiburokhman, advokat yang juga berstatus kader Partai Gerindra. Dia menilai pasal 222 UU Pemilu yang memuat syarat partai atau gabungan partai politik memiliki 20% kursi di DPR atau 25% suara sah nasional bertentangan dengan pasal 4, 6A, dan 28 ayat (1) pada UUD 1945.
"Yang didelegasikan pasal 6A ayat 5 UUD 1945 ke DPR hanya soal pembuatan tata cara pemilihan bukan persyaratan tambahan. Jadi tidak ada delegasi kewenangan membuat aturan detail tentang pengajuan presiden," kata Habiburokhman di Gedung MK, Jakarta.
Pasal 6A ayat 5 UUD 1945 yang disebut Habiburokhman menyatakan tata cara pemilihan capres dan wapres secara lebih lanjut diatur dalam undang-undang. Adapun, empat ayat lain pada pasal 6A memuat keharusan pilpres secara langsung dan jumlah suara minimal yang harus diraih pemenang pilpres.
Kuasa hukum Habiburokhman dari kelompok Advokat Cinta Tanah Air, Agustyar, menilai aturan pengajuan presiden yang disahkan DPR tidak sepatutnya didasarkan pada hasil pemilihan legislatif.
Akhir dari Artikel-artikel yang direkomendasikan
"Pasal 222 mempermudah presiden tersandera partai politik sehingga bagi-bagi jabatan kepada partai pendukung bisa terjadi," ujarnya.
Agustyar menuding aturan itu bertentangan dengan pasal 4 UUD 1945 yang menyebut sistem pemerintahan Indonesia adalah presidensial.
Lebih dari itu, Agustyar juga menuding syarat 20% persen kursi DPR atau 25% suara sah nasional pileg menimbulkan diskriminasi peserta pemilu. "Partai yang baru pertama kali ikut pemilu akan kehilangan hak mengusulkan capres dan cawapres," tuturnya.
Sumber gambar, BBC Indonesia
Permohonan uji Undang-Undang Pemilu di Mahkamah Konstitusi diajukan Habiburokhman, advokat yang juga berstatus kader Partai Gerindra.
Atas nama pribadi
Habiburokhman menyatakan permohonan judicial review UU Pemilu yang diajukannya bersifat pribadi. Ia tidak bertindak selaku kader Gerindra.
Pada rapat paripurna DPR Kamis (20/07) lalu, Gerindra adalah satu dari empat fraksi yang walk out pada pemungutan suara pengesahan RUU Pemilu. Tiga fraksi lainnya adalah Demokrat, PAN, dan PKS.
"Yang saya lakukan tentu tidak akan bertentangan dengan kebijakan Partai Gerindra. Tidak ada arahan secara teknis tapi idenya sama," ucap Habiburokhman.
Saat Habiburokhman mengajukan permohonan uji materi pada Senin (24/07) pagi ini, UU Pemilu belum memiliki nomor karena belum masuk dalam Lembaran dan Berita Negara. Namun ia tak khawatir hakim konstitusi akan menolak permohonannya.
"Konten pasal 222 tidak akan berubah. Supaya tidak membuang waktu, saya daftarkan dulu. Pada perbaikan permohonan, saya akan masukkan nomor undang-undangnya," tuturnya.
Tidak punya pijakan hukum
Investigasi untuk menyibak tabir adopsi ilegal dari Indonesia ke Belanda di masa lalu
Episode
Akhir dari Podcast
Ditemui pada lokasi yang sama, juru bicara MKb Fajar Laksonob menyebut hakim konstitusi pernah memutuskan partai politik tidak memiliki pijakan hukum untuk mengajukan permohonan pengujian undang-undang. Alasannya, kata dia, parpol adalah bagian dari pembentuk undang-undang.
"Pertarungan di DPR itu namanya kepentingan politik. Ketika kepentingan politik itu kalah, maka tidak bisa serta merta pindah ke ranah yudikatif," kata Fajar.
Partai politik baru, menurut Fajar, dapat menggugat undang-undang ke MK, sepanjang bisa meyakinkan hakim dan menguraikan kerugian konstitusional yang mereka alami.
"Biarlah pihak-pihak yang merasa haknya terlanggar keberlakuan undang-undang itu yang mengajukan uji materi ke MK," ujarnya.
Preseden hukum yang disebut Fajar itu antara lain muncul pada putusan MK soal pengujian UU 42/2008 tentang pemilu bernomor 51-52-59/PUU-VI/2008. Pemohon perkara itu adalah tujuh partai politik antara lain Hanura, Partai Bulan Bintang, dan Partai Buruh.
Februari lalu, MK tidak menerima permohonan Partai Persatuan Pembangunan hasil Muktamar Bandung yang mempersoalkan dua pasal pada UU 2/2011 tentang partai politik.