Dokumen rahasia Amerika Serikat diungkap: 'Prabowo perintahkan penghilangan aktivis 1998'

20 tahun reformasi

Sumber gambar, Erik Prasetya

Sebanyak 34 dokumen rahasia Amerika Serikat mengungkap rentetan laporan pada masa prareformasi, salah satunya bahwa Prabowo Subianto disebut memerintahkan Kopassus untuk menghilangkan paksa sejumlah aktivis pada 1998 dan adanya perpecahan di tubuh militer.

Dokumen-dokumen yang dirilis ke publik oleh lembaga Arsip Keamanan Nasional (NSA) ini mengemukakan berbagai jenis laporan pada periode Agustus 1997 sampai Mei 1999.

Sebagian merupakan percakapan staf Kedutaan AS di Jakarta dengan pejabat-pejabat Indonesia, lainnya adalah laporan para diplomat mengenai situasi di Indonesia ketika itu.

Prabowo: Era Suharto akan berakhir

Salah satu dokumen merupakan telegram berisi percakapan antara Asisten Menteri Luar Negeri AS, Stanley Roth, dengan Komandan Kopassus, Mayor Jenderal Prabowo Subianto.

Dalam pertemuan selama satu jam pada 6 November 1997 itu, keduanya membahas situasi Indonesia.

prabowo

Sumber gambar, NSA

prabowo

Sumber gambar, NSA

Prabowo mengatakan mertuanya, Presiden Suharto, tidak pernah mendapat pelatihan di luar negeri dan pendidikan formalnya pun sedikit. Namun, menurutnya, Suharto sangat pintar dan punya daya ingat yang tajam.

Bagaimanapun, urai Prabowo, mertuanya tidak selalu bisa memahami persoalan dan tekanan dunia.

"Akan lebih baik jika Suharto mundur pada Maret 1998 dan negara ini bisa melalui proses transisi kekuasaan secara damai", sebut Prabowo dalam dokumen itu.

"Apakah itu terjadi pada Maret atau perlu beberapa tahun lagi, era Suharto akan segera berakhir," sambungnya.

20 tahun reformasi

Sumber gambar, Erik Prasetya

Siapa di balik penghilangan para aktivis?

Arsip tertanggal 7 Mei 1998 ini mengungkap catatan staf Kedutaan Besar AS di Jakarta mengenai nasib para aktivis yang menghilang.

Catatan itu memuat bahwa para aktivis yang menghilang boleh jadi ditahan di fasilitas Kopassus di jalan lama yang menghubungkan Jakarta dan Bogor.

prabowo

Sumber gambar, NSA

prabowo

Sumber gambar, NSA

Namun, siapa di balik aksi penghilangan itu?

Hasil percakapan seorang staf politik Kedutaan Besar AS di Jakarta dengan seorang pemimpin organisasi mahasiswa memunculkan nama Prabowo Subianto.

Narasumber tersebut mengaku mendapat informasi dari Kopassus bahwa penghilangan paksa dilakukan Grup 4 Kopassus. Informasi itu juga menyebutkan bahwa terjadi konflik di antara divisi Kopassus bahwa Grup 4 masih dikendalikan Prabowo.

"Penghilangan itu diperintahkan Prabowo yang mengikuti perintah dari Presiden Soeharto," sebut dokumen tersebut.

Pada masa kampanye pemilihan presiden 2014, Prabowo berulang ketika rangkaian peristiwa 1998 terjadi dan mengatakan dia hanya menjalankan perintah atasan.

"Sebagai seorang prajurit, kami melakukan tugas kami sebaik-baiknya," kata dia dalam debat capres pertama.

"Itu merupakan perintah atasan saya."

line

'Kaset rusak yang diulang'

Andre Rosiade, anggota Badan Komunikasi DPP Partai Gerindra

Kepada BBC News Indonesia, Andre Rosiade menegaskan bahwa sejumlah personel Tim Mawar Kopassus sudah menghadapi Mahkamah Militer karena telah 'mengamankan' delapan aktivis.

"Pak Prabowo juga sudah mempertanggungjawabkan itu. Nah dari delapan aktivis itu, beberapa bahkan jadi anggota DPR dari Gerindra. Kalau mereka merasa diculik oleh Pak Prabowo, tidak akan mau bergabung dengan Partai Gerindra, ya kan?" papar Andre merujuk Haryanto Taslam, Pius Lustrilanang, dan Desmond J Mahesa.

"Nah, korban yang lain, tanyakan ke Panglima ABRI waktu itu, Jenderal Wiranto. Sekarang dia Menkopolhukam-nya Pak Jokowi," sambung Andre.

Soal kemunculan dokumen rahasia AS, Andre menilai seperti ada kesengajaan.

"Ini kayak kaset rusak yang diulang-ulang. 2014 juga waktu Pak Prabowo mencalonkan jadi presiden, isu ini muncul," cetusnya.

line
20 tahun reformasi

Sumber gambar, Erik Prasetya

Lewati Podcast dan lanjutkan membaca
Investigasi: Skandal Adopsi

Investigasi untuk menyibak tabir adopsi ilegal dari Indonesia ke Belanda di masa lalu

Episode

Akhir dari Podcast

ABRI, di bawah kepemimpinan Jenderal Wiranto, membentuk DKP (Dewan Kehormatan Perwira) untuk menangani kasus hilangnya sejumlah aktivis politik yang dikaitkan dengan anggota Kopassus dan Prabowo.

DKP dibentuk pada Juli 1998 dan menggelar sidang pada bulan Agustus.

Setelah memeriksa Prabowo, DKP yang diketuai Jenderal Subagyo Hadi Siswoyo ini menjatuhkan sanksi administratif berupa pemberhentian Prabowo dari dinas kemiliteran.

Setelah meninggalkan dinas ketentaraan, Prabowo sempat menetap di Yordania sebelum pulang ke Indonesia untuk menjadi pengusaha dan kemudian mendirikan Partai Gerindra.

'Perpecahan di tubuh militer'

Arsip yang dibuat pada 8 Mei 1998 ini melaporkan adanya perpecahan di tubuh militer Indonesia mengenai cara mengadapi para demonstran.

Laporan ini menyebutkan Wiranto yang saat itu menjabat Panglima TNI diperintahkan bersikap tegas terhadap para demonstran.

Dia kemudian memperingatkan para mahasiswa agar tidak menggelar demonstrasi di jalan-jalan, namun pada saat yang sama mengatakan kepada mereka bahwa militer tidak bermusuhan.

wiranto

Sumber gambar, NSA

Susilo Bambang Yudhoyono, yang saat itu menjadi bawahan Wiranto, melontarkan ide untuk mengumpulkan semua anggota MPR demi menentukan masa depan negara (diduga menggantikan Suharto).

"Jika benar, ini mengindikasikan niatan 'Kubu Wiranto'," sebut dokumen itu.

Di sisi lain, Prabowo berupaya mencegah demonstrasi semakin ganas di Jakarta.

"Prabowo terlibat perebutan kekuasaan dengan Wiranto," tulis arsip tersebut.

20 tahun reformasi

Sumber gambar, Erik Prasetya

Dokumen-dokumen ini diungkap Arsip Keamanan Nasional dengan memanfaatkan Undang-Undang Kebebasan Informasi yang mengharuskan arsip rahasia diungkap setelah beberapa tahun.

Arsip Keamanan Nasional sendiri merupakan sebuah lembaga yang bermarkas di Universitas George Washington dan didirikan secara swadaya oleh sejumlah akademisi dan jurnalis pada 1985.

NSA merilis dokumen-dokumen yang tak lagi berstatus rahasia ini ketika Prabowo dan Gerindra bersiap untuk mengikuti Pileg dan Pilpres 2019.

Gerindra sudah meminta Prabowo untuk kembali mencalonkan diri sebagai presiden untuk melawan Joko Widodo.

Komisi Pemilihan Umum membuka pendaftaran capres mulai 4 hingga 10 Agustus 2018.