Muslim Uighur: Massa mendemo Kedubes China, pemerintah Indonesia dinilai 'masih terkesan senyap'

Sumber gambar, ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/wsj
Massa berunjuk rasa di depan kantor Kedutaan Besar Republik Rakyat China di Jakarta, Jumat (20/12).
Aksi demonstrasi menuntut pemerintah China menghentikan dugaan persekusi terhadap Muslim Uighur di Xinjiang kembali digelar di Jakarta, hari Jumat (20/12), satu tahun setelah demonstrasi terakhir digelar di depan kanror Kedutaan Besar China.
Selain menuntut pemerintah China memberi kebebasan beragama kepada Muslim Uighur, beberapa pihak menuntut pemerintah Indonesia agar lebih lantang menyuarakan dugaan pelanggaran HAM terhadap Muslim Uighur, sama seperti yang dilakukan terhadap Muslim di Rohingya dan Palestina.
Pegiat HAM internasional memperkirakan sekitar satu juta Muslim Uighur ditahan di kamp-kamp penjara yang oleh pemerintah China disebut sebagai pusat re-edukasi, atas dasar kebijakan pemerintah China yang menganggap ada potensi terorisme.
"Padahal bagi kami itu penahanan sewenang-wenang dan ada sebagian yang ditahan lewat proses penahanan yang kita kutuk, incommunicado detention (penahanan tanpa akses dunia luar) dan komunikasi dengan keluarga terputus," ujar peneliti Amnesty International Indonesia, Papang Hidayat, kepada BBC News Indonesia, Jumat (20/12).
Namun, menurut Papang, dibanding negara-negara lain yang lantang menyuarakan dugaan pelanggaran HAM di China, pemerintah Indonesia terkesan "senyap".
Akhir dari Artikel-artikel yang direkomendasikan
"Kalau kita menganggap bahwa ada satu juta orang ditahan tanpa proses hukum, bagi kami itu adalah pelanggaran HAM serius, itu harus direspons tidak hanya pendekatan senyap," kata dia.
Namun pemerintah Indonesia menegaskan tidak tinggal diam, dengan cara menempuh diplomasi lunak.
Sikap lunak pemerintah Indonesia diakui oleh anggota DPR dari Partai Keadilan Sejahtera, PKS, Mardani Ali Sera, yang menuntut Indonesia untuk mendorong pemerintah China membuka informasi terkait dugaan pelanggaran terhadap etnis minoritas Uighur di Xinjiang.
Sumber gambar, Reuters
Para pakar mengatakan kepada BBC bahwa apa yang terjadi di balik pagar kamp bisa dikategorikan sebagai "penyiksaan psikologis".
'Solidaritas sesama Muslim'
Pada hari yang sama, puluhan orang dari beberapa elemen masyarakat berdemo di depan Kedutaan Besar Republik Rakyat China di Jakarta, beberapa hari setelah tudingan bahwa Indonesia cenderung "bungkam" terkait dengan dugaan pelanggaan HAM terhadap Muslim Uighur di Xinjiang.
Sekitar 70 orang dari Front Mahasiswa Peduli Umat dan Solidaritas Rakyat Indonesia untuk Uighur (Solighur) melakukan protes pada Jumat (20/12), menyikapi dugaan pelanggaran HAM oleh pemerintah China terhadap etnis minoritas Muslim Uighur di Xinjiang.
Mereka menuntut pemerintah China, melalui kedutaan besarnya di Indonesia, untuk segera menghentikan dugaan penyiksaan, penyanderaan, dan pelarangan umat muslim Uighur dalam melaksanakan aktivitas ibadah.
Sumber gambar, ANTARA FOTO/Aprillio Akbar
Ini adalah demonstrasi pertama setelah demonstrasi pro-Muslim Uighur di Kedutaan Besar China digelar terakhir pada Desember 2018.
Bagi Munawir Annur, ini adalah kali kedua berdemo membela Muslim Uighur di Kedutaan Besar China. Sebelumnya, dia mengikuti demo setahun lalu, yang juga digelar pada bulan Desember.
Ketika ditanya mengapa baru berdemo setahun setelah demo terakhir, Annur beralasan bahwa mereka beranggapan Pemerintah China akan menindaklunjuti tuntutan mereka, namun ternyata nihil.
"Anggapan kami tuntutan-tuntutan tahun lalu ditindaklanjuti sehingga Muslim di sana dilindungi sebagaimana non-Muslim di sini dilindungi."
Sumber gambar, BBC News Indonesia
Bagi Munawir Annur, ini adalah kali kedua berdemo membela Muslim Uighur di Kedutaan Besar China.
Investigasi untuk menyibak tabir adopsi ilegal dari Indonesia ke Belanda di masa lalu
Episode
Akhir dari Podcast
"Itu yang kami harapkan umat Islam di Indonesia, untuk Myanmar, untuk Uighur dan untuk yang lain-lainnya yang minoritas di sana harus bisa ditoleransi, sebagaimana kita juga bisa toleransi di sini," ujar Annur.
Tahun lalu, ratusan orang dari berbagai ormas melakukan aksi di depan Kedutaan Besar China di Jakarta menuntut pemerintah China menghentikan persekusi terhadap kelompok Muslim Uighur. Salah seorang pendemo, Rini, yang berasal dari Cibinong, Jawa Barat, mengungkapkan ini kali pertama dia mengikuti demonstrasi membela Muslim Uighur.
Dia mengakui mengetahui dugaan pelanggaran HAM terhadap etnis minoritas di China didapatnya dari berita media massa dan media sosial baru-baru ini.
"Saya lihat di medsos, di media, begitu kejamnya mereka mengadakan kamp-kamp yang istilahnya mencuci otak, anak-anak dipisahkan dari orang tuanya, terjadi permutadan, itu benar-benar kejam, benar-benar nggak ada peri kemanusiaan," ujar Rini ketika ditemui di sela-sela aksi demonstrasi.
Dia mengimbau pemerintah Indonesia untuk lebih lantang menyuarakan simpatinya untuk Muslim Uighur.
"Kami bingung soalnya dari pemerintah sendiri kok nggak ada simpatinya kepada rakyat Uighur," kata dia.
Demonstrasi ini sekaligus menjawab tudingan bahwa "pemerintah China mendanai sekelompok delegasi asal Indonesia yang terdiri dari organisasi Islam dan wartawan untuk berkunjung ke Xinjiang dalam upaya meraih dukungan internasional dan membentuk opini publik".
Ini membuat sikap ormas-ormas Islam dan pemerintah Indonesia yang cenderung "bungkam" atas dugaan pelanggaran hak asasi manusia terhadap etnik minoritas Uighur di Xinjiang, China, dianggap berkaitan dengan urusan ekonomi.
Sumber gambar, ANTARA FOTO/Aprillio Akbar
Mereka menuntut pemerintah China melalui kedutaan besarnya di Indonesia untuk segera menghentikan penyiksaan, penyanderaan, dan pelarangan umat muslim Uighur dalam melaksanakan aktivitas ibadah.
Tudingan itu semula diberitakan oleh sebuah surat kabar Amerika Serikat berdasarkan hasil penelitian lembaga kajian Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC), Explaining Indonesia's Silence on The Uighur Issue yang dirilis Juni silam.
Peneliti IPAC yang menulis laporan tersebut, Deka Anwar, mengungkapkan dua alasan mengapa Indonesia "bungkam" terhadap isu Muslim Uighur.
"Bahwa investasi China begitu besar jadi kita bungkam. Kedua, masyarakat Muslim Indonesia masih terbelah, masih banyak yang belum percaya dengan pelanggaran HAM di Xinjiang," jelas Deka.
Sumber gambar, ANTARA FOTO/Basri Marzuki
Aksi serupa juga dilakukan oleh Aktivis Forum Umat Islam (FUI) Sulawesi Tengah yang berunjuk rasa di depan Kantor DPRD Sulawesi Tengah di Palu, Sulawesi Tengah, Jumat (20/12).
'Indonesia bisa jadi pelopor, kalau mau'
Hal itu pula disoroti oleh peneliti Amnesty International Indonesia, Papang Hidayat, yang menyebut Indonesia tidak termasuk dalam 22 negara yang mengecam perlakuan China terhadap etnis minoritas Muslim Uighur.
Dalam pernyataan bersama pertengangan tahun ini, sebanyak 22 negara menyatakan keprihatinan tentang laporan penahanan sewenang-wenang skala besar, pengawasan ketat, dan pelanggaran lainnya terhadap Uyghur dan Muslim lainnya di Xinjiang.
Mereka mendesak China "untuk memungkinkan akses ke Xinjiang" bagi PBB dan pengamat internasional independen.
Negara yang ikut menandatangani tuntutan itu antara lain Jepang, Australia, Inggris, Austria, Belgia, Kanada, Denmark, Estonia, Finlandia, Perancis, Jerman, Islandia, Irlandia, Latvia, Lithuania, Luxembourg, Belanda, Selandia Baru, Norwegia, Spanyol, Swedia, dan Swiss.
Menelusuri kamp 'de-radikalisasi' Muslim Uighur di China
Indonesia dan negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, tak termasuk dalam daftar itu.
"Indonesia kelasnya tidak mau terlalu bungkam karena isu ini isu panas, karena komunitas ormas Islam pasti bereaksi kalau dia sama sekali tidak bicara. Tapi dia juga tidak bisa terlalu lantang dan itu tidak hanya khas Indonesia, tapi semua negara Muslim yang punya hubungan luar biasa dengan China," jelas Papang.
"Sayangnya baru 22 negara dan kebanyakan negara-negara yang track record HAM-nya baik dan itu bukan berasal dari negara-negara dengan penduduk Muslim yang besar. Indonesi asaya kira bisa menjadi pelopor kalau mau," ujarnya.
Pemerintah Indonesia sebelumnya mengungkapkan, berbeda dengan negara-negara barat yang lantang menyuarakan pelanggaran HAM terhadap Muslim Uighur - kebijakan yang disebut megaphone diplomacy - Indonesia memilih pendekatan lunak menyoal isu tersebut.
Anggota DPR dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Mardani Ali Sera, menilai diplomasi lunak yang dilakukan pemerintah adalah "untuk membuka jalur penyelesaian Uighur melalui pendekatan bilateral".
Namun, dia meminta sikap tegas pemerintah untuk mendorong pemerintah China membuka akses dan informasi terkait apa yang terjadi di Uighur.
"Teman-teman di Kemenlu menganggap China masih menganggap ini masalah internal mereka. Kami ingin angkat walaupun internal, ini ada masalah dan masalah ini berimplikasi pada dunia internasional," kata dia.
"Biarkan kami masuk, biarkan kami untuk mendapatkan data dan fakta. Itu yang kami desak terus," kata Mardani.