Indonesia dan Malaysia gagas kesepakatan soal perlindungan pekerja migran, tapi aktivis prediksi 'kekerasan masih bisa terus terjadi'

Pekerja migran

Sumber gambar, BBC INDONESIA/DAVIES SURYA

Pemerintah Indonesia menyatakan nota kesepahaman (MoU) dengan Malaysia tentang perlindungan pekerja migran bakal menekan kasus kekerasan yang menimpa tenaga kerja Indonesia di negara itu.

Kesepakatan tersebut diklaim bakal menjadi payung hukum perlindungan pekerja migran Indonesia, terutama yang berada di sektor domestik seperti pekerja rumah tangga.

Namun aktivis buruh migran ragu kesepakatan itu akan benar-benar mencegah tenaga kerja asal Indonesia terhindar dari kekerasan majikan.

Pengawasan dan kemauan politik yang rendah dituding membuat pekerja migran Indonesia selalu berada dalam posisi yang rentan.

Baca juga:

Kesepakatan penempatan dan perlindungan pekerja migran antara Indonesia dan Malaysia sudah berakhir sejak 2016.

Pembaruan kesepakatan ini belakangan terus dibahas, termasuk oleh pimpinan tertinggi kedua negara November lalu.

Pembahasan nota kesepahaman ini sekarang sudah mencapai tahap akhir, kata Direktur Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Luar Negeri Kemnaker, Rendra.

Menurutnya sejumlah poin krusial akan dimasukkan dalam kesepakatan itu, termasuk pengawasan perlakuan terhadap pekerja migran di Malaysia.

"Semua hal sudah oke, antara lain penempatan tenaga kerja harus melalui satu jalur dan pekerjaan harus disesuaikan dengan kualifikasi tenaga kerja. Yang belum adalah batas minimal gaji," ujar Rendra.

"Nanti juga akan dibuat tim yang bertemu tiga bulan sekali untuk mengevaluasi pelaksanaannya.

"Masing-masing negara harus mengawasi apakah ada pelanggaran terkait besaran upah, paspor yang ditahan majikan, hari libur, hingga akses komunikasi," ucapnya.

Untuk mencegah pengawasan yang bersifat satu arah, Rendra menyebut Indonesia mengusulkan agar setiap pekerja migran diberi hak melaporkan pelanggaran yang dilakukan majikan mereka.

Sumber gambar, MIGRANT CARE

Keterangan gambar,

Luka-luka yang diderita Adelina Lisao selama bekerja di sebuah rumah tangga di Penang. Dia akhirnya meninggal pada tahun 2018 akibat kekerasan yang dia alami.

Lewati Podcast dan lanjutkan membaca
Podcast
Investigasi: Skandal Adopsi

Investigasi untuk menyibak tabir adopsi ilegal dari Indonesia ke Belanda di masa lalu

Episode

Akhir dari Podcast

Pembahasan kesepakatan soal perlindungan pekerja migran ini mencuat bersamaan dengan kasus kematian Adelina Lisao, tenaga kerja asal Nusa Tenggara Timur di Penang, Malaysia.

Dalam persidangan tingkat bawah, September lalu, majikan Adelina, Ambika Shan, dibebaskan dari dakwaan melakukan kekerasaan yang berujung kematian.

Rabu (09/12) kemarin, dalam proses banding di tingkat Mahkamah Persekutuan atau lembaga peradilan tertinggi di Malaysia, kasus ini kembali disidangkan.

Ambika mangkir dalam sidang itu. Jaksa penuntut umum, sebagai yang mengajukan banding, kemudian mengeluarkan perintah penangkapan terhadapnya.

Bagaimanapun, aktivis pekerja migran dari Migrant Care, Anis Hidayah, ragu nota kesepahaman Indonesia dan Malaysia akan efektif mencegah kasus yang serupa dengan Adelina Lisao.

"Instrumen hukum sangat ditentukan oleh pihak yang terikat. MoU itu akan menjadi 'macan kertas' kalau tidak dijalankan oleh kedua negara," ujar Anis.

"Memang kesepakatan itu mensyaratkan prinsip-prinsip baik, tapi itu tidak cukup kalau tidak ada keinginan politik dari Indonesia dan Malaysia untuk menjalankannya," tuturnya.

Sumber gambar, AFP

Keterangan gambar,

Seorang kerabat Adelina Lisao menangis ketika peti mati yang membawa jenazah Adelina tiba di Bandara Kupang, Nusa Tenggara Timur, pada 17 Februari 2018.

Menurut Anis, perlindungan pekerja migran mencakup banyak hal. Prosesnya, kata dia, dimulai sejak pekerja berangkat dari rumahnya di Indonesia sampai akhirnya mereka pulang dari Malaysia.

Di sisi lain, selama ini banyak pekerja migran tidak memahami hak yang tertuang dalam kontrak mereka. Akibatnya, nasib pekerja di perantauan bergantung pada perangai majikan.

Konsekuensi hukum atas pelanggaran kontrak kerja, menurut Anis, lantas tidak memiliki konsekuensi hukum apapun. Gugus tugas yang sebelum ini sudah dibentuk Indonesia dan Malaysia pun dianggapnya tidak berfungsi maksimal.

"Kalau ketemu majikan yang baik, mereka akan selamat. Kalau tidak, ya mereka tidak selamat.

"Jadi tidak berarti MoU itu tidak penting, tapi bagaimana masing-masing negara mematuhi kesepakatan itu," ujarnya.

Sumber gambar, SBMI

Keterangan gambar,

Kasus kekerasan lainnya terjadi terhadap pekerja migran bernama Sulasih yang menjadi korban penyiksaan majikannya.

Merujuk sejumlah kasus kekerasan pekerja migran yang pernah terjadi, Anis menanggap pemerintah Malaysia tidak serius mengatasi persoalan ini.

Dalam penyusunan nota kesepahaman terbaru pun, kata dia, Malaysia kerap mengulur tenggat.

"Kemauan politiknya rendah. Mereka hanya ingin mendapatkan untung, bahwa kebutuhan pekerja di perusahaan sawit dan konstruksi serta rumah tangga masyarakat mereka terpenuhi. Perlindungan jadi prioritas kesekian," ujarnya.

Dalam keterangan tertulis 7 Desember lalu, Kementerian Sumber Daya Manusia Malaysia, menyatakan pembahasan MoU dengan Indonesia sejauh ini berjalan lancar.

Salah satu poin yang selama ini diperdebatkan adalah permintaan Indonesia bahwa 'satu pekerja rumah tangga hanya boleh memiliki satu tugas'.

Malaysia menyebut Indonesia bersedia mengubah kausal itu menjadi 'satu pekerja dapat bekerja di rumah tangga yang maksimal terdiri dari enam orang'.

Menteri Sumber Daya Manusia Malaysia periode tahun 2018-2020, M Kulasegaran, menyebut pihaknya juga sudah berupaya melindungi pekerja migran Indonesia lewat sejumlah inisiatif.

"Semasa Partai Pakatan Harapan menguasai pemerintahan, kami sudah berbicara dengan kelompok advokasi, pekerja migran, dan perwakilan majikan," ujarnya.

"Kami menilai perlu ada aturan khusus untuk memberi perlindungan pada pekerja migran di sektor domestik.

"Yang kami atur adalah masa kontrak kerja, kewajiban majikan melaporkan pembayaran gaji bulanan, dan asuransi.

"Setiap dua atau tiga bulan sekali, perwakilan kami datang ke rumah majikan untuk mendengar laporan pekerja apakah ketentuan dalam kontrak mereka sudah diikuti," kata Kula.

Sumber gambar, Getty Images

Pada 14 Desember mendatang, delegasi kedua negara akan bertemu di Jakarta untuk menyelesaikan sejumlah hal yang belum disepakati. Targetnya, MoU itu akan diteken awal Januari mendatang.

Sejumlah klausul yang telah disetujui antara lain penempatan pekerja migran yang harus melalui satu kanal, yaitu aplikasi SIAPKERJA di Indonesia dan Foreign Workers Centralized Management System di Malaysia.

Ada juga aturan bahwa majikan di Malaysia harus melakukan perekrutan dan perpanjangan kontrak kerja melalui agen penempatan Indonesia.

Pengiriman pekerja migran ke Malaysia dihentikan sejak Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauzia, mengeluarkan keputusan pada Juli 2020. Namun Migrant Care menyebut keberangkatan tenaga kerja Indonesia ke Malaysia tetap berlangsung secara ilegal.

Merujuk data Kedutaan Besar Indonesia di Kuala Lumpur, saat ini setidaknya terdapat 2,7 juta pekerja migran RI di Malaysia. Setengah dari jumlah itu datang dan bekerja tanpa dokumen resmi.

Adapun selama tahun 2021, pengaduan kasus kekerasan hingga pengabaian hak paling banyak datang dari Malaysia, menurut catatan Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia.

---

Wartawan di Malaysia, Vinothaa Selvatoray, berkontribusi untuk liputan ini