Eki Update: Keriangan seni dalam keruwetan politik

Kelompok Eksotika Karmawibhangga (EKI ) kembali menampilkan karya para koreografer muda mereka, dalam kemasan yang ringan dan riang yang merupakan merk dagang mereka.
Dikemas sebagai suatu variety show, suatu campur sari yang serbaneka, pertunjukan kali ini dijuduli EKI Update V2.0: In Art We Unite
"Di tengah situasi politik begini, yang panas, dan terpecah-pecah, seni seharusnya bisa jadi tempat untuk bersatu, menemukan kebersamaan," kata Aiko Senosoenoto, produser eksekutif pertunjukan ini dan direktur EKI.
Ia mengibaratkan, bagaimana di dalam kerja seni, semua elemen sama pentingnya, dan harus menemukan kompromi dalam identitas masing-masing agar suatu karya bisa menemukan prosesnya dan terwujud dengan seharusnya.
- Berdialog dengan indera: Sebuah dialog seni rupa Korea-Indonesia
- Serba-serbi seni dan hiburan sepekan dalam foto
- Dear Data: Disainer yang membuat kebiasaan sehari-hari menjadi seni
Sebagaimana diperlihatkan banyak pertunjukkan mereka sebelumnya, "Eki Update V2.0" yang dipentaskan di Gedung Kesenian Jakarta bulan lalu, berusaha tampil dengan ramuan kekinian -baik dari segi semangat maupun penampakan.
Show Choir adalah sebuah nomor karya pendiri EKI dan koreografer paling senior, Rusdy Rukmarata bersama Siswanto Kondrata, menampilkan belasan penari dengan kostum robot superhero Jepang dengan warna-warni mencorong, tampil lincah, yang lalu pada satu titik menari dalam dasar tari Saman Aceh, diiringi lagu Aceh Beungong Jeumpa versi EKI.
Penuh kemeriahan, keriangan -santai, tanpa beban. Itu memang warna dasar pementasan ini -dan sebagian besar pementasan EKI selama ini.
Dan itu memang dirancang dengan sadar, agar para penonton EKI bisa menikmati karya kesenian tanpa dibebani hal-hal yang terlalu berat, kata Rusdy Rukmarata.
"Kami memang bermaksud ingin menampilkan karya-karya yang dibuat dengan serius, dengan disiplin seni yang serius, namun dengan kemasan yang menjangkau lebih banyak orang," papar Rusdy Rukmarata lagi.
Tak heran kalau pementasan ini dikemas dalam suatu variety show, campur sari berbagai hal.
Campur sari itu juga antara lain dalam medium: nomor tari yang berkelindan dengan film, seperti di nomor Another 1 karya Kresna Kurnia Wijaya.
Ada pula Man Ja Mon, karya Gede Juliantara, yang sebagai koreografer muda berdarah Bali seakan tak afdol kalau tak melibatkan unsur Bali dalam karyanya. Dan itu segera terlihat lewat kostum dan gerak-gerak dasar di bagian pertama, dan alur cerita yang menghadirkan serombongan monyet dengan segala metaforanya. Dan berbeda dengan para penari yang memerankan manusia, monyet-monyet itu tampil jauh dari citra tradisional Bali, dan justru muncul dengan penampakan khas EKI pula: penuh warna mencorong.
Yang tak pusing dengan idiom tradisional, dan sepenuhnya bereksplorasi dengan kemungkinan-kemungkinan baru, diperlihatkan Siswanto Kodrata dengan (Behind) The Door, dan Yuliani Ho yang menampilkan Femme Enerve.
(Behind) The Door adalah karya yang mengasyikkan, oleh eksplorasinya dengan tiga pintu yang manjadi patokan pergerakan para penari.
"Femme Enerve" karya Yuliano Ho menyenangkan oleh gerakan para penari yang leluasa berpindah dari satu ekspresi ke ekspresi lain.
"Saya memang terdorong mengeksplorasi dunia dalam perempuan, yang di satu sisi sekarang ini bebas berekspresi, tapi di lain sisi juga sering terkungkung pada citra-citra tertentu, yang membuat mereka gelisah tak menentu," kata Yuliani Ho.
Dan kemudian, "Lagu Rama Ragu," sebuah mini musikal, yang di beberapa bagian, juga sangat menyenangkan. Khususnya dengan pemainan bayangan melalui konfigurasi para pemain di belakang layar yang membentuk berbagai citra mahluk atau benda dengan permainan cahaya,
Dimulai dengan pemunculan Nanang Hape, seorang dalang muda yang, setelah Sujiwo Tedjo, sejak beberapa tahun banyak bekerja sama dengan EKI. Nanang muncul dengan sisingaan, sebagai dalang sebuah kisah tafsir urban atas mitologi klasik Ramayana.
Rama sang raja diraja mulai diganggu kebosanan atas segala kerutinan istana, dan lebih dari itu, 'kesempurnaan' Sinta, isterinya. Ia mulai menuntut hal-hal lain tentang perempuan yang tak ditemuinya pada isterinya yang merupakan perempuan tercantik sejagat itu. Terutama, sebagai maha perempuan, Sinta terlalu aristokrat, terlalu terjaga, terlalu santun, terlalu tidak spontan, kurang hidup. Dan Sarpakenaka, seorang raksesi, menawarkan diri sebagai pilihan yang sangat menantang.
Kita tahu apa yang akan terjadi. Tapi menarik juga untuk mengikuti akan sejauh mana pergulatan yang dihadapi Rama, berurusan bukan sekadar dalam berurusan dengan dua perempuan, melainkan bagaimana kedua perempuan itu juga menghadapi situasi-situasi itu.
Ada pandangan patriarki di sini -Sinta dan Sarpakenaka dilihat dari sudut pandang dan selera, dan gairah Rama. Ini persoalan klasik kita. percakapan-percakapan yang diusahakan untuk membumi dan berbunyi bagi penonton EKI yang diandaikan adalah kaum urban, dan pengucapan dialog oleh para pemain, sangat berbeda secara teknis dan disiplin dengan bekal dan dasar gerak dan tari para pemain.
Betapapun, kita tahu bagaimana mini musikal ini akan berakhir. Dari segi cerita, akhirnya kembali ke yang baku juga -kendati jalannya bebeda. Dan dari segi kemasan, dengan alur, gerak, dan dialog yang diarahkan untuk lucu, ringan, riang dan menghibur. Kendati sebetulnya EKI -seharusnya- bisa lebih dari itu juga.