Estonia menjadikan literasi media sebagai bagian keamanan nasional, membuat warga 'lebih tangguh' dalam domain digital
- Amy Yee
- BBC Future

Sumber gambar, AFP/Getty Images
Serangan dunia maya yang menyebarkan disinformasi di Estonia pada 2007 menyebabkan protes di jalan-jalan ibu kota Tallinn.
Negara ini menjadi sasaran kampanye disinformasi berulang kali, sehingga pendidikan literasi media menjadi bagian dari budaya digital dan keamanan nasionalnya.
Kerusuhan berkecamuk di ibu kota Estonia, Tallinn, selama dua hari. Para pengunjuk rasa bentrok dengan polisi, dan penjarah merajalela.
Kekerasan dipicu oleh kontroversi keputusan memindahkan patung militer yang didirikan selama pemerintahan Soviet.
Kemarahan minoritas berbahasa Rusia di Estonia dikobarkan oleh berita palsu yang menyebar online, dan dalam laporan berita Rusia.
Kampanye disinformasi itu meningkat menjadi yang disebut sebagai "serangan siber pertama di seluruh negara". Serangan itu, yang diduga berasal dari Rusia, membuat situs web pemerintah Estonia, bank, dan media tidak dapat diakses.
Akhir dari Artikel-artikel yang direkomendasikan
Setelah serangan pada tahun 2007 tersebut, Estonia memutuskan untuk bertindak.
Kini, negara ini menjadi negara dengan keamanan siber terdepan, yang bertujuan melindungi infrastruktur daringnya dari serangan di masa depan.
Investigasi untuk menyibak tabir adopsi ilegal dari Indonesia ke Belanda di masa lalu
Episode
Akhir dari Podcast
Estonia juga melakukan sesuatu yang lain dalam upayanya untuk melindungi diri dari agresi digital. Negara Baltik kecil ini menggunakan pendidikan literasi media untuk membantu warganya mengenali dan mewaspadai disinformasi.
Sejak 2010, sekolah-sekolah negeri Estonia dari taman kanak-kanak hingga sekolah menengah mengajarkan literasi media kepada pada murid.
Siswa di kelas 10 wajib ikut kursus "media dan pengaruh" selama 35 jam.
Pendidikan literasi media menjadi "sama pentingnya dengan matematika, menulis atau membaca", kata Siim Kumpas, mantan penasihat komunikasi strategis untuk pemerintah Estonia.
Estonia menempati peringkat tinggi dalam kebebasan media dan pendidikan, yang "memberikan fondasi kuat untuk memerangi disinformasi", kata Marin Lessenski, direktur program di Open Society Institute, penerbit Indeks Literasi Media tahunan.
"Pendidikan yang lebih baik memberikan pemikiran kritis yang lebih kuat, atau keterampilan memeriksa fakta yang lebih baik," kata dia.
Ancaman kuat dari misinformasi di internet menjadi sorotan setelah pemilihan Presiden Amerika Serikat pada 2016, di mana pemilih menjadi sasaran disinformasi oleh troll yang memiliki hubungan dengan komunitas intelijen Rusia.
Laporan berikutnya, yang diterbitkan oleh Komite Intelijen Senat AS, menuduh Rusia melancarkan "kampanye perang informasi" yang bertujuan menyebarkan disinformasi dan memecah belah masyarakat AS.
Upaya nyata mengganggu pemilihan demokratis, bersama dengan disinformasi yang menyebar selama pandemi Covid-19, memicu klaim bahwa dunia sedang menghadapi "infodemik" atau "epidemi informasi jelek", seperti yang dikatakan Hillary Clinton.
Pada Juli 2021, Presiden AS Joe Biden menjadi berita utama ketika dia mengatakan bahwa platform media sosial seperti Facebook "membunuh orang" dengan menyebarkan informasi yang salah tentang vaksin Covid-19.
Namun terlepas dari ancaman tersebut, belum ada solusi penentu untuk masalah yang begitu luas ini. Beberapa negara seperti AS sedang mendebatkan aturan internet baru, dan hukuman untuk platform media sosial yang membagikan konten berbahaya.
Perusahaan internet itu sendiri dan organisasi media pun berusaha mengambil langkah sendiri untuk mengatasi masalah ini, karena takut kehilangan kepercayaan audiens mereka.
Jerman pada tahun 2017 meloloskan NetzDG, undang-undang yang mengatur ujaran kebencian online, dan tahun lalu memperluas peraturan turunannya.
Pada musim semi 2021, Inggris mengusulkan undang-undang keamanan online dan kemudian meluncurkan strategi baru untuk mengoordinasi inisiatif literasi media.
Bahkan lembaga akademis berpengaruh seperti Royal Society di Inggris telah mengalihkan kekuatan otak mereka untuk tugas tersebut.
Upaya Estonia selama satu dekade untuk mengajar warganya membedakan antara informasi yang dapat dipercaya dan informasi palsu bisa menjadi bagian penting yang kurang diperhatikan. Pendekatannya tampaknya membuahkan hasil.
Tahun lalu negara kecil itu menempati peringkat ketiga dalam Indeks Literasi Media 2021 yang disusun oleh Inisiatif Kebijakan Eropa dari Open Society Institute (OSI). Estonia nomor tiga di belakang Finlandia dan Denmark.
Dalam indeks 35 negara Eropa, negara-negara dengan peringkat teratas memiliki potensi tertinggi untuk menahan disinformasi dan misinformasi berdasarkan kualitas pendidikan, kebebasan media, dan kepercayaan yang tinggi di antara orang-orang, menurut OSI.
Meskipun populasinya hanya 1,3 juta, Estonia dikenal sebagai salah satu negara paling maju secara digital di dunia. Pendapatan tahunannya pun rata-rata kurang dari setengah negara-negara kaya Eropa.
Literasi media dan "kompetensi digital" menjadi bagian dari identitas Estonia sebagai pemimpin dalam teknologi dan digitalisasi pemungutan suara, pengajuan pajak, dan sebagian besar kehidupan sipil.
Negara-negara lain juga mencoba belajar dari pendekatan Estonia. Menjelang pemilihan November 2020, pejabat militer AS mengunjungi Estonia untuk belajar bagaimana melawan taktik perang siber Rusia.

Sumber gambar, Getty Images
Kekhawatiran soal tersebarnya informasi online yang salah meningkat selama pandemi Covid-19.
Keterampilan literasi media yang lebih baik "membuat warga kami lebih tangguh, tidak hanya terhadap gangguan permusuhan dalam domain digital tetapi juga terhadap banyaknya informasi, kekasaran online, jurnalisme yang buruk dan lain-lain", kata Kumpas kepada Komite Parlemen Inggris tentang demokrasi dan teknologi digital.
Praktik keamanan siber nasional Estonia didorong oleh hubungan historisnya dengan Rusia. Estonia merdeka dari kekuasaan Soviet pada tahun 1991 dan sejak itu menjadi salah satu target agresi Rusia.
Sejak serangan dunia maya 2007 di Estonia, Rusia juga dituduh melakukan agresi online terhadap negara-negara terdekat lainnya seperti Georgia dan khususnya Ukraina, yang mendapat banyak tekanan musim dingin ini.
Pemerintah Rusia secara konsisten membantah terlibat dalam serangan siber.
Tetapi ketika pasukan Rusia berkumpul di dekat perbatasan dengan Ukraina pada Januari, Departemen Luar Negeri AS bahkan mempublikasikan lembar fakta tentang disinformasi yang disebarkan Rusia tentang Ukraina.
Inggris juga mengeluarkan panduan baru yang mendesak organisasi-organisasi Inggris untuk memperkuat pertahanan mereka terhadap serangan dunia maya.
"Kami tidak kaget dengan apa yang terjadi di Georgia pada 2008, atau Ukraina pada 2014 atau AS pada 2016," kata Kumpas. Ancaman ini hanya menekankan perlunya Estonia membantu warganya melindungi diri dari campur tangan Rusia, katanya kepada anggota parlemen ketika berbicara dengan Parlemen Inggris.
Konsep "e-Estonia" yang mereka buat sendiri dan masyarakat digital yang canggih telah mendarah daging pada diri warga Estonia.
"Kami telah berulang kali menceritakan kisah itu, kami sudah terbiasa dengan gagasan itu. Kami harus memikirkan semua hal tentang dunia maya dan digital," kata Maria Murumaa-Mengel, dosen di Universitas Tartu. Dia merancang kursus tentang media dan literasi digital di Universitas Tartu dan untuk sekolah menengah.
Di sekolah dasar dan menengah Estonia, tidak ada kursus khusus tentang literasi media. Sebaliknya, konsep-konsep tersebut diintegrasikan ke dalam mata pelajaran lain.
Misalnya, guru matematika mungkin memberi pelajaran statistik yang mudah disalahpahami atau dimanipulasi. Kelas seni menganalisis gambar dan bagaimana iklan atau penggambaran media tertentu mempengaruhi cara pandang pemirsa. Kelas IPS bisa fokus pada propaganda perang.
Di taman kanak-kanak, anak-anak mungkin bermain kenop yang mengarahkan serangga untuk melakukan hal yang berbeda. Kumpas menunjukkan bahwa ini adalah pelajaran awal dalam dasar-dasar pengkodean dan konsep algoritma.
Anak-anak kecil belajar bagaimana konten digital dibuat, serta bagaimana menggunakan internet dengan aman, kata Britt Järvet, penasihat perencanaan strategis di kementerian pendidikan Estonia.
Standar pendidikan nasional Estonia memberikan sekolah tujuan dan hasil belajar untuk dicapai. Sekolah sendiri yang menentukan bagaimana mencapai tujuan, sehingga guru memiliki keleluasaan dalam memilih bahan dan metode belajar.
Kursus wajib "media dan pengaruh" di sekolah menengah Estonia berfokus pada peran media dan jurnalisme dalam masyarakat, termasuk bagaimana media sosial bekerja, bagaimana cara kerja bot dan troll, dan bagaimana agar terlindung dari mereka.
Siswa belajar tentang fakta versus opini, sumber terpercaya versus sumber yang meragukan, dan alat analisis kritis lainnya.
Selain kelas wajib, sekolah menengah biasanya menawarkan kelas pilihan tambahan tentang media. Dalam banyak kursus semacam itu, siswa membuat media sendiri, kata Liisa Koik, guru literasi media sekolah menengah di Lähte, Estonia.
Ini, katanya, membantu siswa mempelajari bagaimana konten dibuat. Apakah itu video, foto, posting media sosial, blog, dan bagaimana hal itu dapat dirancang untuk membujuk atau memanipulasi.

Sumber gambar, Alamy
Edukasi tentang bahaya disinformasi dimulai sejak dini di Estonia dengan kartun.
Kelas literasi media di sekolah tidak fokus pada politik. Ini adalah aturan yang tidak diucapkan, tetapi bagaimanapun juga, anak-anak "tidak peduli dengan politik", kata Murumaa-Mengel. Pelajaran harus relevan dengan minat anak-anak, katanya.
Meme, postingan media sosial, video, dan animasi dapat membantu menggambarkan pelajaran sederhana namun penting, tentang mengevaluasi informasi.
Satu situs web pendidikan Estonia menampilkan kartun untuk anak-anak tentang keamanan online dengan saran yang relevan untuk menguraikan informasi yang salah, seperti: "Ingat bahwa informasi di internet tidak selalu dapat diandalkan. Bandingkan data yang kamu temukan dengan sumber lain."
Di tingkat universitas, Murumaa-Mengel merancang kursus literasi media pilihan di Universitas Tartu yang mendidik siswa tentang bagaimana jurnalis bekerja di media arus utama. Diajarkan pula keterampilan yang dibutuhkan untuk secara mandiri mencari informasi tambahan yang mungkin diperlukan untuk memverifikasi fakta.
Pada tingkat yang luas, Järvet mengatakan bahwa spektrum pendidikan literasi media bertujuan untuk mengaktifkan budaya analisis kritis dan membantu orang memahami "pesan yang rumit dan tersembunyi", baik di TV, film, musik, atau internet.
Mengajarkan literasi media tak cukup dengan satu cara. Pemerintah Estonia mengamanatkan bahwa universitas pelatihan guru harus mengajarkan elemen "kompetensi digital" sebagai bagian dari kurikulum mereka. Lebih banyak rencana sedang dikerjakan untuk melatih guru secara khusus mengenai literasi media dan informasi.
Di sekolah, tidak ada ujian nasional standar literasi media, sehingga guru melakukan ujian sendiri dan memberikan tugas.
Namun, ada alat evaluasi lainnya. Pusat Penelitian Digital Estonia dan Kanselir Negara pada musim semi ini meluncurkan tes online gratis dengan 20 pertanyaan yang menilai keterampilan mendeteksi disinformasi. Tes ini didasarkan pada perangkat lunak dari perusahaan keamanan siber Estonia.
Salah satu tantangannya adalah bahwa guru Estonia sudah ditugasi dengan banyak mata pelajaran dan menginginkan fleksibilitas dalam pelajaran mereka.
Para guru dapat mengintegrasikan tema literasi media ke dalam pelajaran, tetapi mereka "di bawah tekanan untuk melakukan banyak hal", kata Koik.
"Tujuan pendidikan adalah untuk mendukung siswa dan membantu mereka menjadi orang yang cukup memahami lingkungan sekitar, dan secara kritis memahami dan mengevaluasi informasi," kata Järvet.
Mengajarkan literasi media kepada orang tua tetap menjadi tantangan. "Saya tidak khawatir tentang anak muda. Saya khawatir para mereka yang berusia 50-an," kata Maia Klaassen, spesialis pengembangan di Institut Ilmu Sosial di Tartu.
"Ketika belum mengenal model algoritmik, Anda tidak mengerti bagaimana dan mengapa Anda melihat sesuatu tapi orang lain tidak melihat hal yang sama."
Keterbatasan lain adalah bahwa kursus manipulasi media di sekolah menengah tidak wajib diajarkan di sekolah-sekolah Rusia di Estonia. Sekitar 25% dari populasi Estonia adalah orang Rusia.
Tetapi sekolah-sekolah Rusia biasanya menawarkan kelas-kelas pilihan tentang media sehingga siswa tetap mendapatkan paparan literasi media, kata Igor Ljapin, penasihat komunikasi strategis untuk pemerintah Estonia.
Namun demikian, Estonia sedang mengupayakan agar materi "media dan manipulasi" wajib di semua sekolah menengah, termasuk sekolah menengah Rusia.
Pemerintah Estonia juga berusaha menjangkau warga lanjut usia melalui iklan, pengumuman layanan masyarakat, pembicaraan terbuka, dan Pekan Literasi Media tahunan untuk meningkatkan kesadaran di seluruh negeri.
Video animasi tentang keamanan online juga menghadirkan kiat-kiat yang relevan untuk menguraikan informasi yang salah. Pesan dan kiat sederhana itu penting. Satu studi tahun 2021 menemukan bahwa orang sering membagikan informasi yang salah di media sosial karena mereka tidak memperhatikan pesannya.
Para peneliti mengatakan bahwa platform media sosial dirancang untuk mendorong pengguna membaca dengan cepat berbagai macam konten dan berharap tanggapan instan dari post di media sosial. Desain itu "mungkin membuat orang enggan memikirkan akurasi", demikian peringatan dari sebuah studi di jurnal Nature.
Untuk mengatasinya, para peneliti menyarankan agar platform "secara berkala meminta pengguna untuk menilai keakuratan judul berita yang dipilih secara acak" untuk mendorong pengawasan konten yang cermat.
Penelitian lain menunjukkan beberapa bukti bahwa pendidikan literasi media dapat meningkatkan "ketahanan terhadap disinformasi, dan mampu mengubah cara peserta mengkonsumsi, membuat, dan berbagi informasi", menurut laporan dari Rand, think tank AS.
Namun, penelitian lebih lanjut diperlukan untuk menilai metode apa yang paling efektif untuk pendidikan literasi media.
Perjuangan Estonia melawan informasi yang salah terjadi di tengah semakin banyaknya upaya yang lebih luas untuk mengenali dan mengatasi masalah ini.

Sumber gambar, Getty Images
WHO menyoroti perlunya "imunisasi" terhadap apa yang disebut sebagai infodemik selama pandemi Covid-19.
Pada tahun 2020 Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyoroti konsep "imunisasi" terhadap informasi yang salah selama pandemi Covid-19.
Kampanye buatan PBB yang berjudul "Jeda. Berhati-hatilah sebelum membagikan" mendorong orang untuk memverifikasi sumber sebelum membagikan konten online.
Pejabat di WHO juga bekerjasama dengan 50 perusahaan digital dan platform media sosial termasuk Facebook, TikTok, Google, Viber, WhatsApp, dan YouTube untuk memastikan bahwa informasi kesehatan WHO muncul pertama dalam pencarian di feed media sosial. Juga, untuk memberi pengguna cara melaporkan informasi yang salah ketika mereka menemukannya.
Pada tahun 2020, Kantor PBB untuk Narkoba dan Kejahatan (UNODC) juga memperingatkan tentang ancaman keamanan siber selama pandemi, terutama ketika orang bekerja atau belajar dari jarak jauh.
UNODC membuat situs web "Kebun Binatang Online" untuk anak-anak, yang menggunakan kartun dan video untuk mengajari anak-anak tentang keamanan siber.
Ada inisiatif literasi media global lainnya seperti Pekan Literasi Media Komisi Eropa dan Pekan Literasi Berita Nasional di AS, yang berlangsung awal bulan ini. Unesco, badan pendidikan dan kebudayaan PBB, juga mensponsori pekan literasi media tahunan dan mempromosikan kursus literasi media online.
Di Estonia, ada tanda-tanda bahwa semua usaha itu berdampak, menurut Kumpas.
Estonia adalah salah satu negara di Eropa yang punya keterampilan literasi media tertinggi, menurut beberapa penilaian. Kaum mudanya tampaknya mengonsumsi berita secara berbeda dengan orang-orang seumur di beberapa negara lain (walaupun ada beberapa tanda bahwa perbedaan itu berkurang).
Kumpas, bagaimanapun, menyoroti meningkatnya kesadaran akan masalah yang disebabkan oleh kesalahan informasi sebagai kemenangan nyata.
"Misinformasi dan disinformasi adalah ancaman nyata," katanya. "Melek media bukanlah sesuatu yang harus kita jual lagi, tapi adalah sesuatu yang diharapkan."
*Amy Yee menulis tentang misinformasi dan literasi media selama beberapa tahun sebagai jurnalis lepas.
Anda dapat membaca versi asli artikel ini di BBC Future dengan judul The country inoculating against disinformation.